Dalam berbagai kesempatan sering terdengar dan tertulis kata wacana. Pernyataan-pernyatan yang disampaikan melalui media cetak maupun elektronik kata wacana disandingkan dengan satu konteks tertentu, seperti contoh berikut; “Pertemuan Ritz Carlton yang digelar dua hari lalu diyakini terus ditindaklanjuti. Bahkan, saat ini muncul wacana perlunya SBY-JK membentuk Koalisi Terbatas dalam melakukan reshuffle kabinet. Koalisi terbatas ini terdiri dari Partai Golkar, Partai Demokrat, PAN, dan PPP”. Contoh lain seperti; “Sebagaimana kita tahu, bahwa sejak NU dipimpin oleh Gus Dur, wacana keislaman berjalan secara dinamis, progresif, analitis, produktif, dan kontekstual. Gus Dur mampu mengilhami anak-anak muda NU untuk berlatih berpikir filosofis, metodologis, dan antisipatif”. Dan contoh seperti berikut; “Tak mudah mengembangkan wacana ahli kitab yang, di satu sisi, diterima non-muslim untuk menjadi bingkai dialog antaragama; tapi di sisi lain diakui kaum Muslim tetap berdasarkan Alquran. Model tafsir liberal mengandaikan dua syarat untuk itu. Pertama, wacana ahli kitab harus terlebih dulu dibersihkan dari segala distorsi yang telah menguburnya selama berabad-abad. Kedua, wacana yang khas quranik ini kemudian harus diterjemahkan ke dalam bahasa umum yang bisa dipahami semua agama”.
Pengunaan kata wacana dalam berbagai konteks tersebut di atas memiliki dampak pada adanya perluasan makna kata wacana. Perluasan makna tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dan disiplin ilmu dalam memaknanya. Dibidang sosiologi, wacana menunjuk pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam kajian psikologi sosial wacana diartikan sebagai pembicaraan. Sementara dalam bidang politik wacana adalah praktik pemakaian bahasa terutama politik bahasa. Dibidang sosiologi, wacana menunjuk pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam studi linguistik wacana memperhatikan level yang lebih besar dari kalimat, misalnya hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. Dalam kajian psikologi sosial wacana diartikan sebagai pembicaraan. Sementara dalam bidang politik wacana adalah praktik pemakaian bahasa terutama politik bahasa.
Terkait dengan pengajaran bahasa, wacana merupakan bagian dari materi ajar. Wacana dalam kegiatan pengajaran bahasa dimaknai sebagai suatu pernyataan dalam berbagai bentuk baik lisan maupun tulisan. Dalam bentuk lisan, wacana dapat ditemukan pada pernyataan-pernyataan yang terekam dalam kaset audio atau dalam rekaman film (audio visual). Dengan cara mendengar dan melihat pembelajar memaknai pernyataan-pernyataan yang ada dalam rekaman tersebut. Sedangkan dalam bentuk tulisan, wacana dapat ditemukan dalam bentuk teks, diagram, tabel, gambar, dan photo. Dengan cara membaca dan mengamati teks, diagram, tabel, gambar, dan photo pembelajar memaknai maksud tulisan atau gambar tersebut.
Proses pengajaran bahasa selama ini dilakukan dengan lebih memperhatikan bagaimana seorang pembelajar menguasai bahasa yang dipelajarinya. Dengan demikian pembelajar hanya dibekali pengetahuan yang terkait dengan kemampuan berbahasa, seperti penguasaan tata bahasa, penguasaan pengucapan, penguasaan kosa kata, dan pengetahuan budaya. Pembelajar sedikit sekali diberi kesempatan untuk memahami dan menganalisis maksud-maksud yang terkandung dalam suatu pernyataan baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun gambar yang disajikan pada buku-buku pelajaran bahasa. Padahal bentuk-bentuk wacana lisan dan tulisan yang disajikan dalam suatu buku ajar dapat mengandung muatan tertentu seperti ideologi, praktik sosial tertentu, praktik keagamaan tertentu, dan lain-lain. Isi materi pelajaran suatu buku ajar juga dipengaruhi oleh pemikiran pembuat atau penyusunnya, latar belakang sosial budayanya, latar belakang pendidikannya, dan sebagainya. Oleh sebab itu diperlukan sikap kritis dalam mempelajari isi materi pelajaran dari buku ajar tersebut.
Umumnya pembelajar memaknai wacana lisan dan tulisan yang terdapat dalam buku ajar dengan berbekal pengetahuan yang mereka miliki seperti penguasaan kosa kata, tata bahasa dan latar budaya dari bahasa asing yang dipelajarinya. Tentu saja pembelajar bahasa asing akan menemukan kesulitan saat memaknai wacana tersebut mengingat adanya perbedaan bentuk bahasa dan latar budaya dari bahasa ibu mereka. Namun persoalannya tidak hanya sampai disitu karena meskipun seorang pembelajar telah menguasai kebahasaan dan budaya dari bahasa yang dipelajarinya, ia masih mengalami kesulitan menemukan makna suatu wacana. Hal ini disebabkan karena pembelajar tersebut kurang mampu menangkap simbol-simbol yang ada dalam suatu wacana.
Berdasarkan pengamatan, ditemukan fakta bahwa mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam memahami isi suatu teks secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena mahasiswa hanya berusaha memahami wacana-wacana tulis yang berupa teks atau tulisan berdasarkan pengetahuan kebahasaan mereka. Mahasiswa tidak terbiasa mengamati isi wacana secara menyeluruh termasuk photo atau gambar yang menyertai suatu wacana tulis. Artinya mahasiswa tidak berusaha mencari tahu apa latar dari penulisan teks tersebut, siapa penulisnya, bagaimana penulis menyampaikannya, apa latar sosial budaya penulis dan asal negaranya. Padahal itu semua berguna untuk dapat memahami isi wacana secara menyeluruh dan untuk dapat menangkap maksud yang dibawa dalam suatu wacana. Dan untuk dapat memahami isi wacana secara menyeluruh dapat dilakukan dengan cara menganalisis wacana tersebut.
Analisis wacana merupakan sarana untuk menganalisis pemakaian bahasa. Meskipun demikian ada beberapa sudut pandang dalam menganalisis wacana. Perbedaan sudut pandang ini didasari pada adanya perbedaan pandangan mengenai bahasa. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris. Sudut pandang ini menganggap bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Dengan demikian bahasa secara langsung tanpa adanya distorsi digunakan untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman manusia melalui kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan yang logis, sesuai aturan tata bahasa, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Bila dikaitkan dengan analisis wacana, pandangan ini menganggap bahwa orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari sebuah pernyataan. Orang hanya perlu menyatakan sebuah pernyataan secara benar menurut aturan tata bahasa/sintaksis dan semantik saja. Oleh karena itu wacana diukur berdasarkan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik.
Sudut pandang kedua diwakili oleh kaum konstruktivisme. Dalam pandangan konstruktivisme bahasa digunakan untuk mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan mengungkapkan tindakan penciptaan makna yaitu tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri pembicara. Oleh karena itu wacana digunakan untuk mengungkapkan maksud tersembunyi dari subyek/orang yang mengungkapkan suatu pernyataan. Hal yang dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi subyek yang mengungkapkan suatu pernyataan dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari pembicara.
Sedangkan sudut pandang ketiga disebut juga sebagai pandangan kritis. Menurut pandangan ini bahasa merupakan representasi untuk membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, dan strategi-strategi di dalamnya. Analisis wacana dalam pandangan ini digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa. Bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Analisis wacana dalam sudut pandang ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Filed under: Bahasa, IBSN, analisis wacana, badiklat, Badiklat Dephan, Bahasa, Diklat, IBSN, linguistik, pelajaran, pelajaran bahasa, sisfobadiklat, wacana
@roctak: ….hmmm
@nbb: silahkan…
@Kang Nur: makasih koreksiananya… langsung dirubah.
Maaf. Sebeluimnya, ada bbrp kalimat yg terulang pada paragraf kedua di atas, mohon di-edit 🙂
Wacana = aneka ragam latar-belakang dari sebuah simbol bersama yg diperebutkan maknanya ?
copy juga ach…
makasih
hanya sebuah wacana…
biar saja.. lha
😉