Ada sebuah istilah yang baru-baru ini muncul dan menjadi perbincangan banyak orang. Istilah itu adalah “deradikalisasi”. Menurut asal katanya istilah ini datang dari kata “radik” (dari bahasa Latin, radix) yang berarti “akar”, sehingga radikal dapat diartikan secara sederhana sebagai “perubahan mendasar dan menyeluruh”. Kaum radikal berarti orang-orang yang menghendaki dan bertindak untuk melakukan perubahan mendasar dan menyeluruh. Untuk konteks Indonesia sekitar satu dekade terakhir kata “radikal” ini populer digunakan untuk menyebut kelompok orang yang cenderung memaksakan ide perubahan dengan menggunakan kekerasan. Salah satu mode kekerasan adalah “teror” yang menimbulkan rasa kuatir, tidak aman, dan takut.
Suatu bentuk teror ekstrim keras (hard form) adalah pengeboman suatu tempat yang menimbulkan kepanikan dan ketakutan yang sangat. Penyerangan tempat ibadah orang lain yang dianggap sesat, atau tempat keramaian dapat dimasukkan ke dalam ekstrim ini. Bentuk ekstrim lunak (soft form) adalah desas-desus, gosip-gosip, dan ancaman yang berusaha melemahkan hingga melumpuhkan mental warga masyarakat tertentu. Kedua bentuk ekstrim ini adalah instrumen kelompok radikal untuk mencapai tujuannya.
Apabila pikiran radikal sudah menjadi keyakinan ini menjiwai dan mewarnai sikap dan tindakan terhadap kelompok atau golongan lain yang dianggap berseberangan, maka terbentuklah radikalisme. Perlu kita catat bahwa pikiran radikal maupun radikalisme tidak selalu tertutup atau tersembunyi. Banyak kasus menunjukkan bahwa radikalisme itu dinyatakan secara terbuka, dan bahkan mewadahi diri secara eksplisit antara lain sebagai perkumpulan, kelompok, bahkan partai politik. Ada sejumlah organisasi sosial yang radikal dalam masyarakat kita di Indonesia pada masa reformasi ini. Salah satu kemunculannya adalah kesempatan dan keleluasaan yang diberikan pada masa demokrasi dan hak asasi manusia kini.
Radikalisme membutuhkan pembenaran, dan pembenaran yang paling kuat dan sahih adalah agama sebagai pusat kekuatan kebudayaan. Gerakan-gerakan radikalisme yang berkali-kali terjadi di tanah air pada umumnya berbasis pada tafsir agama. Kasus penyerangan terhadap instansi, pemukiman atau tempat umum adalah salah satu contoh menonjol. Kasus lain, bom bunuh diri di beberapa tempat di Indonesia, juga berbasis tafsir agama Islam khususnya tentang jihad dan mati syahid ketika berhadapan dengan musuh yang beragama lain, bahkan terhadap satuan pengamanan.
Beberapa hari belakangan mulai marak dibicarakan orang suatu isyu yang berlawanan dengan radikalisasi dan radikalisme itu. Isyu tersebut adalah deradikalisasi dan deradikalisme, yaitu upaya mengikis pikiran, keyakinan, dan sikap radikal. Deradikalisasi adalah perkara yang musykil. Apalagi jika radikalisme itu menyangkut keyakinan akan tafsir agama tertentu. Tidak mudah mengubah keyakinan agama seseorang atau sekelompok orang. Kalau upaya deradikalisasi itu dimaknai sebagai proses penginsyafan kaum radikal, ada kemungkinan bahwa keinsyafan itu hanya sebatas motorik tubuh. Mereka yang tadinya mungkin beringas, kini mungkin menjadi kalem. Yang tadinya vokal, kini lebih banyak diam. Tentu ini bukan ukuran perubahan yang sahih karena alam pikiran dan keyakinan tidak selalu sejalan dengan motorik tubuh. Analogi yang sama untuk para narapidana rampok yang dipenjarakan bertahun-tahun. Ketika masa pembebasan tiba, mereka yang dianggap “sudah dimasyarakatkan” yang artinya, “sudah bisa kembali ke masyarakat yang normal”, ternyata kambuh lagi menjadi perompak. Sebagian besar perampok yang tertangkap ternyata sebelumnya pernah dipenjara.
Lalu deradikalisasi seperti apa yang memenuhi? Deradikalisasi bukanlah proses yang terjadi dalam ruang hampa. Proses atau program ini tidak berjalan sendirian, melainkan bekerja sama dengan pembenahan unsur-unsur lain baik lokal, nasional, regional maupun global. Teori resistensi dalam sosiologi dan antropologi cukup jelas menunjukkan bahwa perlawanan (tersembunyi atau terbuka) adalah manifestasi dari ketidakadilan dan ketertutupan struktural. Ketidakadilan pada tingkat lokal, nasional, regional, dan global tidak semakin baik sekarang ini, padahal akses informasi secara mendunia telah terbuka luas dan cepat. Ketertutupan struktural sebenarnya meningkat karena akses informasi yang semakin mudah dan luas itu justru dibarengi oleh semakin banyaknya kendala bagi banyak penduduk di dunia, khususnya di negara berkembang, untuk memperoleh sumber daya yang melekat pada informasi tersebut. Banyak orang mengetahui tersedianya kesempatan, namun tidak mampu meraih kesempatan itu. “ini menimbulkan frustasi yang lebih besar,” kata Profesor Samuel Huntington (1996, The Clash of Civilization and Remarking of the World Order, New York: Simon and Schuster). Maka, proses deradikalisasi harus kita fahami secara holistik.
Filed under: Article, IBSN, Indonésie, Jurnal, Keamanan, Pertahanan, sosial, agama, bela negara, berita, Budaya, cenya, faites comme chez vous, IBSN, Informasi, Keamanan, Opini, Pertahanan, sosial
[…] mudik di Jawa adalah yang paling ekstrim karena tingkat kepadatan penduduknya yang tertinggi. Arus mudik melalui perjalanan darat adalah yang paling menonjol. Namun, peristiwa mudik juga terjadi di […]
[…] « masyarakat tradisional memiliki peristilahan dan sanksi tersendiri menurut definisi masyarakat setempat, yang belum tentu konotasinya adalah “korupsi”, » […]
[…] yang paling ringan adalah tidak diajak ngobrol ketika dalam suatu pertemuan di desa. » […]