Ketika Clifford Geertz menulis “Deep Play: Notes on The Balinese Cockfight” menjelang akhir 1960an, mungkin ia tak menduga bahwa pendekatan simbolisme yang digagasnya pada masa itu telah berkembang menjadi suatu cara pandang ilmiah yang sangat penting bahwa pada abad ke-21 ini. Dalam deskripsinya tentang “sabung ayam di Bali” itu, kebudayaan sebagai “sistem simbol” melekat pada kelakuan, gerak-gerik, dan tindakan manusia, tanpa jarak empirik. Peneliti harus langsung berada di dalam lingkungan yang diamatinya. Interaksi dirinya dengan orang-orang yang dikajinya seharusnya intensif, dan dari hubungan yang intens itulah ia memperoleh data yang kaya. Peneliti mungkin akan sampai pada kesimpulan bahwa pola-pola simbol yang direkamnya di arena sabung ayam itu adalah struktur simbol yang mewakili struktur besar, yakni struktur pikiran orang Bali. Ada hubungan linear antara struktur kecil (sabung ayam) dengan struktur besar (masyarakat Bali). Demikian simbolisme yang struktural itu bekerja.
Istilah atau konsep simbol tetap hadir dalam kehidupan kita. Simbol tidak lagi harus melekat pada gejala secara empirik, suatu yang mengharuskan peneliti sedekat mungkin dengan gejala agar memperoleh tafsir yang sesahih mungkin. Bukankah manusia tetap berhubungan satu sama lain tanpa harus hadir in-person? Telepon seluler, facebook, twitter, dan sejenisnya telah “mendekatkan” jarak yang jauh, namun dengan mengandalkan teknologi internet. Realitas yang baru ini mengakibatkan lahirnya mode kekerasan yang baru pula. Ketika peneliti (dalam metodologi kualitatif) harus berkaitan langsung dan sedekat mungkin dengan subyek-subyek yang ditelitinya, maka mode kekerasan ditafsirkan dalam tataran itu, yakni tindakan semena-mena, penggunaan kekuatan fisik, penyerangan secara fisik, tindakan pelecehan harga diri, dan ancaman kasat mata, terhadap orang lain sebagaimana terekam dengan “maksimal” oleh peneliti. Tindakan menyerang, melecehkan, atau mengancam diamati dan direkam oleh peneliti dengan menerapkan aturan-aturan pengamatan terlibat sesuai buku teks metodelogi kualitatif. Seorang yang menggunakan paradigma simbolisme tentu saja memandang kelakuan, tindakan, atau gerak-gerik itu tidak sebagai behavior, melainkan sebagai simbol-simbol bermakna.
Lalu, apa pasalnya dengan kemajuan teknologi informasi (internet)? Apa kaitannya dengan kekerasan? Isyunya adalah dimungkinkannya kekerasan in absentia. Artinya, seseorang melakukan kekerasan terhadap orang lain tanpa berhadapan muka. Teknologi pencitraan jarak jauh semakin maju sekarang ini memungkinkan orang menggunakan dan memanipulasi simbol-simbol dari jarak jauh untuk menyerang, melecehkan, dan menyebarkan kabar-kabar buruk. Dari jauh si penyerang dengan sukacita menyaksikan korbannya tertindas habis-habisan akibat kekerasan yang dikirimnya. Dalam konteks ini bahasa tetap merupakan perangkat simbol yang sentral. Orang tetap menggunakan bahasa biasa pada email, facebook, twitter, dan semacamnya. Kelebihannya adalah si penyerang dapat secara sengaja menyebarkan berita-berita buruk mengenai lawannya kemana saja ia mau. Suatu kejadian di tanah air beberapa saat yang lalu segera diketahui orang di London, Sydney, atau New York. Maka kabar buruk tentang seseorang tidak lagi terbatas peredarannya dalam suatu komunitas, kampung, atau desa, melainkan nasional, regional, dan global. Kekerasan simbolik mode siber ini mempunyai efek menghancurkan jauh lebih besar daripada kekerasan simbolik faktual empirik biasa.
Kekerasan melalui dunia maya adalah kekerasan simbolik yang sukar dihadapi dengan hukum karena perkembangan dunia maya lebih cepat dari perkembangan hukum dalam masyarakat, meskipun sudah ada Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di Indonesia, dunia maya sudah pula digunakan oleh sebagian orang untuk kepentingan politik. Misalnya, muncul gerakan sejuta dukungan yang tujuannya adalah menekan pemerintah secara politik untuk membebaskan yang bersangkutan. Saya duga kejahatan melalui dunia maya ini akan menjadi tantangan besar di Indonesia. Apalagi masyarakat kita tergolong paling berpotensi dalam hal gosip-menggosip, hujat-menghujat, maki-memaki, ancam-mengancam, dan sejenisnya. Orang senang sekali mencar-cari kekurangan atau kesalahan orang lain, dan tidak bersedia menemukan kekurangan dan kesalahan diri sendiri. Setidak-tidaknya hal ini mengingatkan kita pada tulisan Prof. James C. Scott (1986) The Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven, Conn,: Yale University Press, tentang Vietnam, Malaysia, dan secara tidak langsung Indonesia.
Filed under: Article, cenya, Diskusi, IBSN, Indonésie, Keamanan, Pertahanan, Politik, sosial, berita, Budaya, cenya, faites comme chez vous, IBSN, Informasi, internet, ITE, Keamanan, NaBloPoMo09, Opini, Pertahanan, Siber, sosial, Teror
[…] kesadaran bersama, nilai-nilai, dan pengorbanan untuk memelihara negara-bangsa. Penggunaan kekuasaan otoriter untuk memelihara kesatuan bangsa bukan lagi pilihan yang relevan karena penerapan kekuasaan […]