Lebaran baru saja usai. Orang-orang berbenah untuk memasuki kembali hari-hari rutin yang penuh sesak di Jakarta. Kemacetan luar biasa yang beberapa hari terakhir terurai, kini kembali menjadi pemandangan sehari-hari. Tiada hari tanpa macet di Jakarta. Sebagian ahli meramalkan bahwa kendaraan tidak lagi bisa bergerak di jalan-jalan Jakarta. Tidak salah pemerintah membangun infrastruktur di Jakarta guna mencegah penyakit baru, khususnya penyakit organ pernafasan.
Kilas balik sebelum lebaran. Khususnya, H-7, orang bergegas menyelesaikan pekerjaan karena akan mudik ke kampung masing-masing. Plus, libur/cuti bersama yang lama. Kabarnya, sebelum puasa (baca: ramadhan) saja tiket pesawat sudah habis terjual. Memasuki bulan puasa tiket kembali tersedia tetapi dengan harga dua sampai tiga kali lipat. Dapat dibayangkan bila sekeluarga mudik, tentulah membutuhkan biaya yang besar. Keputusan untuk mudik dengan mobil atau sepeda motor cukup rasional. Meskipun, beberapa Instansi memberikan moda transportasi mudik gratis.
H-2 adalah saat puncak perjalanan mudik. Inilah saat frekuensi perjalanan tertinggi sepanjang tahun, dimana arus manusia dari kota-kota besar menuju kota-kota kecil dan desa-desa di Jawa begitu deras. Kemacetan berpuluh kilometer tidak menjadi penghalang bagi pemudik untuk berjalan terus. Dari tahun ke tahun, kita mengalami lebaran dengan suasana yang sama. Mungkin contoh perjalanan mudik di Jawa adalah yang paling ekstrim karena tingkat kepadatan penduduknya yang tertinggi. Arus mudik melalui perjalanan darat adalah yang paling menonjol. Namun, peristiwa mudik juga terjadi di seluruh Indonesia. Fenomena mudik juga terjadi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Belum lagi dari dan ke pulau-pulau yang lebih kecil. Pendek kata, lebaran dan mudik adalah fenomena nasional yang berulang setiap tahun. Yang lebih menarik adalah bahwa lebaran dan mudik tidak hanya dirayakan dan dinikmati oleh penduduk muslim Indonesia tetapi juga penduduk non-muslim. Teman-teman yang non-muslim tak kalah sibuknya dan sukacitanya menyongsong lebaran. Mereka juga beramai-ramai mudik ke kampung halaman, mereka juga bersalaman dan bermaafan dengan teman yang muslim. Lebaran dan mudik adalah peristiwa nasional yang melibatkan semua orang dari mana pun latar belakangnya, baik ras, etnik, golongan sosial-ekonomi, maupun agama.
Menurut para ahli agama Islam di Indonesia, peristiwa lebaran dan mudik mungkin hanya terjadi di Indonesia. Di seluruh dunia, muslim merayakan Iedul Fitri pada 1 Syawal, yang menandai berakhirnya bulan Ramadhan. Di Arab Saudi sendiri merayakan Iedul Fitri hanya sebatas berkumpul dan bermaafan dalam keluarga. Tetapi hari Iedul Fitri yang dirayakan secara akbar, lengkap dengan mudik, bersilahturahmi dengan keluarga, kerabat, rekan-rekan, hingga jiran sekampung, ditambah lagi dengan baju baru, ketupat lebaran, petasan, lomba beduk, lomba meriam bambu, hanya ada di Indonesia. Untuk keperluan kegembiraan pemerintah maupun perusahaan-perusahaan swasta sampai bersedia memberikan masa libur bersama hingga seminggu.
Maka, nampaknya kita perlu membedakan Iedul Fitri dengan Lebaran secara substansil. Iedul Fitri adalan tanda berakhirnya masa berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan, suatu awal lembaran kehidupan yang serba baru (fitrah/suci) dan baik. Orang menutup lembaran lama yang mengandung banyak keburukan, dan memulai kehidupan baru dengan lembaran yang bersih, dan menghindari perbuatan buruk. Iedul Fitri adalah suatu momentum kerohanian yang bersifat optimis, bahwa manusia selalu bisa menjadi mahluk yang lebih baik. Berbeda dengan Iedul Fitri, Lebaran adalah peristiwa sosial budaya yang melekat pada persitiwa Iedul Fitri.
Dalam realitas di Indonesia keduanya berpadu dengan baik, dan memberikan hasil positif bagi integrasi bangsa. Lebaran dan Mudik adalah peristiwa kultural yang setahun sekali mengintensifkan integrasi bangsa kita. Ketika orang berhalal-bil halal, setiap orang, berteman atau tidak, satu aliran politik atau agama maupun tidak, saling senyum, bersalam-salaman, berangkulan, dan bermaafan. Terlepas dari persoalan bahwa besok bermusuhan kembali, dalam kebudayaan kita terdapat arena kultural dimana musyawarah, mufakat, dan integrasi itu diwadahi. Sungguh lebaran dan mudik itu adalah peristiwa kultural yang luar biasa, yang mampu menahan kemungkinan perpecahan, dan memperkuat ketahanan kultural bangsa kita. Solidaritas suatu masyarakat dibentuk dan dipelihara oleh keberadaan suatu sistem nilai kebersamaan yang secara historis dibangun melalui tradisi. Secara tidak disadari, sistem nilai itu memandu perilaku warga masyarakat pada suatu arah tertentu yang menyatukan warga masyarakat yang beranekaragam. Kekuatan yang menyatukan itulah disebut representasi kolektif. Oleh karena itu lebaran merupakan tradisi kultural yang sangat penting dalam mengembangkan dan memelihara ketahanan nasional NKRI.
Filed under: Article, cenya, Civilisation, Diskusi, Evaluasi, IBSN, Indonésie, NaBloPoMo09, Opini, Pertahanan, sosial, Adat Istiadat, Antropologi, berita, Budaya, cenya, etnis, faites comme chez vous, IBSN, idul fitri, Informasi, kehidupan, ketahanan, mudik, NaBloPoMo09, NKRI, nusantara, Opini, Pertahanan, Politik, sara, sosial
[…] Keveteranan Cadangan Daerah Militer (Babinminvetcaddam) dan perwakilan instansi yaitu Kementerian Pertahanan, Kementerian Sosial, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Koperasi dan UKM, […]
[…] Indonesia adalah negara bangsa (nation state) » […]