Tahun 2016 yang baru kita lalui dan Tahun 2017 yang sedang kita jalani nampaknya masih diwarnai oleh masalah-masalah sosial yang penting. Kita masih akan menghadapi masalah kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, kerentanan hubungan antar etnik dan agama, primodialisme kedaerahan, resistensi dan konflik, dualisme partai politik, separatis, hingga terorisme. Semua masalah sosial ini, apabila kita kurang menyadari dan kurang tepat dalam menyikapi dan mengambil kebijakan, dapat mengganggu keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia adalah negara bangsa (nation state), yaitu suatu negara yang tersusun dari banyak sukubangsa, ras, agama, dan golongan sosial yang secara keseluruhan diikat oleh rasa kebangsaan (nasionalisme) yang memiliki tiga sendi, yakni kesadaran identitas bersama, kesadaran historis yang sama, dan gerakan sosial bersama untuk menghadapi kekuatan dari luar yang dianggap mengancam. Nasionalisme berfungsi sebagai semacam ideologi ketika ketiga sendi itu bekerja bersama-sama. Ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz dan David Apter (1969), dalam The Old Societies and New States. Chicago: University of Chicago Press, mencatat bahwa negara-bangsa adalah bentuk negara baru merdeka yang paling banyak muncul pasca Perang Dunia Kedua, dan salah satunya adalah Indonesia. Negara-negara yang baru merdeka ini memiliki semangat ideologi kebangsaan yang dibentuk oleh perjuangan heroik melawan kolonialisme, dan semangat itu terpelihara hingga kira-kira akhir abad keduapuluh. Banyak ahli ilmu sosial yang sependapat bahwa abad keduapuluh adalah “masa ideologi” dimana idealisme, nilai-nilai kebangsaan, dan kebanggaan akan identitas bangsa mendominasi pikiran warga negara-bangsa. Pidato-pidato Presiden Soekarno (1945-1965) yang bergelora berada dalam konteks yang pas dengan “masa ideologi” sehingga sinergis dengan semangat kebangsaan yang hidup pada waktu itu. Rasa kebangsaan (dapat disebut “ideologi kebangsaan”) menjadi pengikat atau unsur integratif komponen-komponen bangsa yang majemuk, yang setiap komponen sebenarnya memiliki karakter-karakter subtantif yang otonom. Selama unsur pengikat integratif itu tetap kokoh, eksistensi negara-bangsa tetap terpelihara, namun sebaliknya apabila unsur pengikat itu mulai rapuh maka kesatuan negara-bangsa pun terancam.
Abad keduapuluhsatu seringkali disebut sebagai abad perubahan dan keterbukaan. Perubahan itu melibatkan semua aspek kehidupan manusia di seluruh dunia seperti ekonomi, sosial, komunikasi, politik, dan kebudayaan. Kemajuan teknologi adalah unsur kebudayaan yang disebut-sebut sebagai penyebab perubahan semua aspek kehidupan. Para antropolog menemukan bahwa bahkan masyarakat-masyarakat yang tinggal di pedesaan yang jauh ternyata mengetahui apa yang terjadi di dunia luar mereka. Ternyata pengetahuan masyarakat lokal dapat melampaui batas-batas teritorial dimana mereka tinggal. Gejala translokal, transnasional, atau transtruktural mulai merambah ke ranah ideologi nasionalisme yang secara tradisional menjadi jiwa dari suatu negara-bangsa seperti Indonesia. Perubahan tersebut memberikan dampak dan menentukan arah negara-bangsa selanjutnya.
Proses globalisasi yang mengandung ciri-ciri translokal, transnasional, dan transkultural pada abad ini menuntut masyarakat di seluruh dunia untuk menyelaraskan diri dengan perubahan yang semakin cepat dan intens. Banyak ahli ilmu sosial menengarai terjadinya kemerosotan ideologi yang berbasis idealisme, nilai-nilai, dan kebanggaan bangsa digantikan oleh liberalisme, materialisme, dan pragmatisme. Nilai-nilai pengorbanan dan perjuangan tanpa pamrih pada masa ideologi kebangsaan mulai luntur, dan digantikan oleh materi yang menjadi nilai kompensasi suatu kegiatan. Tindakan konkrit lebih penting daripada nilai-nilai yang tersimpan dalam pikiran. Yang perlu kita cermati adalah bahwa perubahan paradigma ini terjadi karena meningkatnya dorongan kebebasan, demokrasi, hak-hak individu, hak asasi manusia, harkat kaum minoritas, dan tuntutan kesetaraan manusia, yang pada hakikatnya mengubah posisi manusia dari sebagai obyek menjadi subyek.
Eksistensi negara-bangsa nampaknya tergantung pada kehendak global (negara-negara yang menguasai teknologi dan ekonomi) tidak lagi kehendak negara-bangsa itu sendiri. Menguatnya materialisme global berarti ekonomisasi dunia. Efisiensi menjadi semakin penting. Dunia semakin menyukai bangsa yang berpostur ramping namun demokratis daripada bangsa besar yang otoritarian. Logikanya adalah bahwa mengelola dan memakmurkan bangsa yang lebih kecil lebih mungkin daripada negara besar yang sarat dengan maslah internal. Bangsa yang ramping lebih gesit bergerak dalam perubahan yang kian cepat.
Peta politik ekonomi dunia telah berubah. Sebagai penentu politik ekonomi dunia, kedudukan negara bergeser ke tangan korporasi-korporasi raksasa. Negara kini diposisikan sebagai fasilitator, suatu keadaan yang tak terbayangkan pada abad lalu. Francis Fukuyama (1997) dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Maxwell Macmillan, mengemukakan bahwa salah satu ciri ekonomi dunia pada abad keduapuluhsatu adalah beralihnya kekuasaan ekonomi ke tangan jaringan korporasi raksasa secara lintas bangsa, sedangkan negara hanya menjadi “tukang stempel” atau “pemadam kebakaran” apabila terjadi persengketaan. Agar tetap hidup, efisiensi negara-bangsa nampaknya menjadi kebutuhan abad ini. Negara-bangsa yang besar kerapkali ambivalen karena di satu pihak harus memelihara kesatuan unsur-unsur yang beragam di wilayah yang sangat luas, dan pada saat yang sama harus menghadapi tuntutan dunia agar bergerak cepat dan effisien.
Secara historis, negara-bangsa seperti Indonesia diintegrasikan oleh dua unsur pengikat: Pertama, kekuasaan yang mengendalikan beragam unsur penyusun bangsa di wilayah yang sangat luas; dan, Kedua, ideologi yang berintikan kesadaran bersama, nilai-nilai, dan pengorbanan untuk memelihara negara-bangsa.
Penggunaan kekuasaan otoriter untuk memelihara kesatuan bangsa bukan lagi pilihan yang relevan karena penerapan kekuasaan sentralistik itu akanberhadapan dengan kekuatan global yang menghendaki sebaliknya. Padahal, untuk menjaga kesatuan wilayah NKRI yang sangat luas itu, kekuasaan otoriter secara teoritis diperlukan. Dari teori-teori evolusi masyarakat kita belajar bahwa kekuasaan demokratis itu bekerja lebih efektif daripada bangsa yang berskala kecil karena komunikasi yang efektif paling dimungkinkan terjadi pada bangsa yang kecil populasinya. Dalam konteks negara-bangsa kita, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi-sosial nampaknya masih menjadi solusi utama dalam menghadapi perubahan yang kian materialistik.
Filed under: Article, cenya, Civilisation, Diskusi, IBSN, Indonésie, NaBloPoMo09, Pertahanan, sosial, Antropologi, berita, Budaya, cenya, ekonomi, faites comme chez vous, IBSN, Informasi, Keamanan, Kebudayaan, Komunikasi, NaBloPoMo09, Opini, Pertahanan, Politik, sosial
[…] Legiun Veteran Republik Indonesia kepada Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu. Menurut Menhan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”, oleh karena itu sudah […]
[…] « tidak menjadi penghalang bagi pemudik untuk berjalan terus » […]