FAITES COMME CHEZ VOUS

Beramal dengan ilmu dan pengalaman mulai dari rencana, organisasi, kontrol sampai evaluasi. Diharapkan dapat mencerdaskan bangsa demi negara tercinta, NKRI. Semoga bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

Mencari Akar Korupsi

Belajar dari Kazakhstan

Menarik menyimak tulisan antropolog, Cynthia Ann Werner (2004) “Gifts, Bribe, and Development in Post Soviet Kazakhstan”, Economic Development An Anthropological Approach (Jeffrey H. Cohen & Norbett Dann Heuser, eds.) New York: Altamira Press. Dalam tulisan itu, penulis mengemukakan bahwa gejala korupsi dan sogok menyogok yang marak di Kazakhstan, suatu republik yang dahulu adalah bagian dari Uni Soviet, merupakan proses kesinambungan dari tradisi kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Memusatkan perhatian pada kasus sebuah desa di tenggara negeri itu, secara historis Dr. Werner menganalisa tiga mode kegiatan yang sarat dengan adat tukar menukar, tolong menolong, dan sambat sinambat. Pertama, suatu keluarga yang akan mengadakan upacara pernikahan anak, tidak perlu bersusah payah menyediakan segala keperluan karena kerabat dan tetangga siap untuk bergotong royong membantu penyelenggaraan tersebut sukses. Kedua, kerabat adalah perluasan keluarga, oleh karena itu memperlakukan kerabat harus sama dengan memperlakukan keluarga sendiri. Apabila seorang kerabat membutuhkan pertolongan untuk mencari pekerjaan, kerabat lain harus memikirkan cara terbaik untuk menolongnya. Ketiga, apabila seorang kerabat memperoleh rejeki lebih, ia harus membaginya dengan kerabat lain karena dirinya hanyalah bagian dari kelompok kekerabatan besar itu.

Asas tukar menukar yang diwujudkan dalam kegiatan tolong menolong pada masyarakat di Kazakhstan itu dapat diperluas ke dalam konteks peristiwa lain seperti kematian, membangun rumah, menggarap padi di sawah, kesulitan keuangan, mencari pekerjaan, mencari penghasilan tambahan, hingga promosi jabatan di kantor. Kebudayaan setempat mengembangkan mekanisme kontrol tradisional apabila ada kerabat yang tidak menjalankan tugas sosialnya membantu sesama kerabat, atau bahkan tetangga. Dalam banyak hal, Dr. Werner mencatat, tetangga di desa itu tak lain adalah juga kerabat dekat maupun jauh. Mereka mengkritik secara terbuka anggota kerabat yang tidak membalas pertolongan meski diketahui mampu melakukannya. Kontrol yang paling ringan adalah gosip yang kurang baik beredar di desa mengenai individu yang bersangkutan. Yang juga kerap terjadi, orang tersebut “dikucilkan” untuk sementara dari pergaulan sosial padat di desa sampai yang bersangkutan dianggap sudah menyadari perbuatannya yang salah itu. Bentuk “pengucilan” yang paling ringan adalah tidak diajak ngobrol ketika dalam suatu pertemuan di desa.

Mencermati hasil penelitian Dr. Werner, seolah kita sedang berhadapan dengan masyarakat kita sendiri. Di Indonesia, sangat banyak fakta yang mirip dengan yang dikemukakan di atas. Dengan lain kata, kasus Kazakhstan itu tidak baru bagi kita. Namun sangat baik apabila kita mengambil contoh dari negeri lain untuk membaca negeri sendiri, agar kita tidak terjebak bias dalam memahaminya. Prof. Koentjaraningrat pada tahun 1970an pernah menginventarisisasi adat dan tradisi gotong royong di Indonesia, dan mengemukakan bahwa gotong royong itu merupakan pembendaharaan kebudayaan kita yang bernilai tinggi hampir di seluruh Indonesia. Kuatnya persatuan nasional, menurut beliau, antara lain dirajut oleh kuatnya nilai-nilai gotong royong. Nilai gotong royong mewujudkan sangat nyata pada masa perjuangan mencapai kemerdekaan tahun 1945. Pada masa perjuangan mencapai kemerdekaan, rakyat dan TNI ibarat ikan dan air, nilai-nilai gotong royong sangat kuat. Jenderal A.H. Nasution (1954) menulis dalam bukunya, Mengamankan Panji Panji Revolusi, bahwa suatu ketika pada masa revolusi Letjen Oerip Soemohardjo, wakil Panglima Besar Jenderal Soedirman, ditanya oleh seorang petugas PBB, berapa jumlah pasukan tentara Indonesia. Jenderal Oerip dengan tegas menjawab: “seluruh rakyat Indonesia adalah tentara”. Pada tahun 1960an, dalam kehidupan masyarakat desa pertanian di Jawa, nilai-nilai itu mewujud nyata dalam pengunaan ani-ani ketika mengetam padi di sawah. Alat pemotong padi tradisional ini hanya bisa memotong padi sebatang demi sebatang. Memang tidak efisien secara ekonomi. Warga desa yang banyak itu harus diberi kesempatan menikmati uang hasil kerja mengetam padi meskipun hanya sedikit. Nilai gotong royong bekerja dalam konteks ini mengalahkan penggunaan traktor yang dapat memanen padi dalam jumlah besar dalam waktu singkat.

Akar Korupsi

Persoalan korupsi di Indonesia sudah sangat lama dibicarakan. Sebagian ahli, termasuk Dr. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI Pertama, membuat sebuah risalah singkat pada tahun 1968 berjudul Demokrasi Kita, yang antara lain mengemukakan bahwa korupsi di Indonesia adalah kebuddayaan. Pernyataan itu sempat menuai kritik, tetapi kemudian reda kembali. Akhir tahun 2009, isyu korupsi marak kembali dengan intensitas yang mungkin tertinggi selama ini. Namun, akar persoalan korupsi itu belum juga ter(di)sentuh. Apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah pemberantasan korupsi yang tidak konsisten? UU anti korupsi tidak berjalan baik? Mengapa terjadi pemberantasan yang ditengarai tebang pilih? Dan banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan. Kini, tahun 2017, pemberantasan korupsi semakin marak dengan adanya Hak angket DPR terhadap KPK dan terbentuknya Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), tetapi suap tetap terjadi.

Istilah korupsi (yang diperluas dengan kolusi dan nepotisme) sebenarnya bukan istilah asli Indonesia. Istilah itu datang dari terminologi kebudayaan dan praktek birokrasi Barat. Istilah korupsi menjadi sangat populer dan menjadi keharusan untuk diberantas semenjak negeri kita semakin intensif berhubungan dengan dunia Barat, khususnya dalam konteks ketergantungan ekonomi – sebagai salah satu bangsa berhutang terbesar di dunia – pada negara-negara maju (Barat) itu. Aturan penggunaan dana bantuan yang ketat diterapkan oleh negara-negara maju tehadap Indonesia karena kebocoran-kebocoran keuangan pasti berdampak kepada negara-negara pemberi hutang itu sendiri. Mereka berupaya keras agar perhitungan keuntungan ekonomi mereka tidak meleset.

Bangsa kita mengembangkan kebudayaan gotong royong dari generasi demi generasi. Meski mengalami transformasi bentuk karena perubahan lokal hingga global masa kini, nilai-nilai gotong royong itu masih hadir dalam berbagai konteks. Sebagai contoh, di seluruh Indonesia, di desa maupun di kota, kita masih menemukan kegiatan arisan berbagai bentuk, yang pada dasarnya adalah bekerjanya nilai-nilai gotong royong itu. Sistem nilai itu kemudian berbenturan dengan sistem nilai Barat yang datang dari luar, daan hasil kontestasi nilai itu adalah “kalahnya” sistem nilai gotong royong kita. Kekalahan itu terjadi dalam dua bentuk; Pertama, kita “kalah” dan menerima nilai-nilai baru dari luar yang berbasis materi atau uang untuk suatu tujuan yang kita sebut pembangunan; Kedua, kita mereduksi nilai-nilai luhur gotong royong kita menjadi korup, menyelaraskan nilai-nilai gotong royong dengan tersedianya kesempatan materi atau uang tanpa adanya kontrol birokrasi yang sudah manthab.

Peluang korup itu membesar antara lain karena pada dasarnya birokrasi kita dibentuk dan diberi warna oleh gotong royong juga. Fakta menunjukkan bahwa dalam berbagai lapangan kegiatan kita berbangsa dan bernegara, warna dan nuansa KKN itu hadir. Sebagai contoh, dari birokrasi paling bawah hingga paling atas, warna itu hadir. Ada pemberantasan KKN maupun tidak. Ada organisasi atau lembaga tertentu yang didominasi oleh etnik tertentu, agama tertentu, partai politik tertentu, alumni universitas tertentu, dan sebagainya. Nilai-nilai Barat mengalami multiple interlink dengan nilai-nilai gotong royong kita menghasilkan suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi bangsa. Kini kita berada dalam suatu kondisi di mana sukar sekali menemukan buhul-buhul kerumitan korupsi, kolusi, dan nepotisme, suatu upaya yang niscaya agar kita dapat mengurai dan memutuskannya.

*) Drs. R. Okta Kurniawan, M.M.

Analisis Pertahanan Negara Ahli Madya

Filed under: Article, cenya, Diskusi, IBSN, Indonésie, NaBloPoMo09, Politik, sosial, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

One Response

  1. […] yang dalam bahasa kita kini sebagai korupsi. Masalahnya adalah hukum adat sendiri ikut tergerus oleh arus masuknya kebudayaan luar yang menamakan diri modernisasi dan pembangunan. » […]

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Arsip

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan dan menerima pemberitahuan tulisan baru melalui email.

Bergabung dengan 84 pelanggan lain

Halaman

Award

Dunia Nyata :

1. The Best Blog pada Lomba Blog Badiklat Dephan.

2. Juara Harapan Lomba WebBlog Korpri Dephan.

3. Winner Lucky Votter at 2nd IBSN Blog Award

Dunia Maya :

1. Award Nyante Aza Lae from Sarah

2. Award Gokilzz from Sarah

3. Award Oscar from Sarah

4. Special Award Special Day from Mahendra and from Aling

5. Friendly blogger award 2009 from Ofa Ragil Boy

6. Your blog is Fabulous from Newbiedika

7. Bertuah Award 2009 from Newbiedika and from wahyu ¢ wasaka

8. Kindly Blogger 2009 from Newbiedika

9. Smart Blogger from Newbiedika

10. Super Follower Award from Newbiedika

11. Your BLOG makes us SMILE from Newbiedika

12. Friendship Emblem from Newbiedika

13. Tutorit Friendship from Mahendra

14. Special Award Special 4U from Siti Fatimah Ahmad

15. Pasopati Award from Ali Haji, from newbiedika-fly, and from diazhandsome

16. Award Mawar Merah from OLVY

17. Bintang Wiki Wikipedia from Aldo Samulo

18. Award Perkasa - kau adalah yang terbaik from Siti Fatimah Ahmad

19. Award Truly Blogger from Pelangiituaku

20. Stylish Blogger Award from Siti Fatimah Ahmad

21. Beginner Experienced Editor Wikipedia from Wagino & Mikhailov Kusserow

22. Very Inspiring Blogger Award from Siti Fatimah Ahmad.

23. Liebster Award from Siti Fatimah Ahmad.

enjoy-jakarta

logo-ibsn-11

hiblogikoh